Cara Partisi Hard Disk di Windows 7
Terkhusus buat Bang Ajir Tercinta yang menggunakan windows
7, jika ingin mempartisi harddisk menjadi beberapa
partisi tanpa menggunakan software, bisa diikuti langkah-langkah berikut ini :
Klik kanan [computer] > pilih [manage]
Pada jendela “computer management”, pilih [storage] kemudian
pilih [disk management].
Pada jendela sebelah kanan terlihat jumlah partisi yang
telah ada. Kemuian klik kanan pada harddisk yang mau dipartisi. ( Kalau
baru terdapat 1 partisi misal C: klik kanan pada partisi C:, kalau sudah ada
beberapa partisi “seperti gambar dibawah” dan mau di partisi lagi maka klik
kanan pada drive yang mau di partisi lagi ) kemudian pilih [Shrink
Volume].
Muncul “querying shrink space” dan tunggu sebentar.
Muncul jendela shrink. Disini shobat diminta untuk
menentukan volume partisi yang mau dibuat. Isikan saja berapa volume
sesuai dengan yang shobat rencanakan. Setelah itu klik [Shrink].
Maka akan muncullah partisi baru yang masih belum terformat
atau free space ( lihat partisi dengan gambar hijau ).
Sampai disini partisi baru masih belum bisa digunakan.
Untuk memformat partisi agar bisa digunakan, klik kanan pada
“free space” tadi kemudian pilih [new simple volume].
Muncul [New simple volume wizard] > klik [next].
Muncul jendela [format partition]. Pada file system
pilih saja NTFS, kemudian pada volume label > isikan “nama label drive
partisi anda”, kemudian klik [next].
muncul jendela [completing the new simple volume
wizard]. Sebelum klik finish lihat dulu informasi yang tertera. Kalau belum
sesuai dengan keinginan shobat, klik [back], kalau sudah sesuai silahkan klik [finish]
Maka partisi harddisk telah selesai dan siap untuk
dipergunakan.
Untuk mengecek partisi yang baru, cobalah buka windows
explorer. Bila prosesnya telah benar maka akan muncul partisi baru sesuai
dengan label yang telah shobat buat tadi.
Potret Aset
| ||
Kemenkeu: Nilai BMN Rp1.726,33 Triliun
Jakarta,
(Analisa). Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto
mengatakan nilai pengelolaan aset barang milik negara (BMN) hingga pertengahan
tahun 2012 mencapai Rp1.726,33 triliun.
"Dari
nilai keseluruhan tersebut, sebesar 93,79 persen atau Rp1.619,23 triliun
merupakan aset tetap," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat.
Menurut
Hadiyanto, jumlah tersebut meningkat 626 persen dibandingkan angka aset BMN
pada tahun 2005 yang hanya mencapai Rp237,78 triliun.
"Kenaikan
ini merupakan pencapaian program penertiban BMN melalui inventarisasi dan
penilaian terhadap aset di Kementerian Lembaga sejak tahun 2007," ujarnya.
Kenaikan
tersebut juga terjadi akibat adanya penilaian kembali atas aset-aset yang
diperoleh sampai akhir Desember 2004 dalam rangka penertiban BMN yang telah
dikoreksi hingga RP446 triliun.
"Kenaikan
juga karena adanya peningkatan belanja modal untuk pengadaan baru sejak
2005," ujar Hadiyanto.
Selain
itu, berdasarkan inventarisasi dan penilaian aset atas BMN yang dilakukan
terhadap 78 Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi (KKKS Migas)
tercatat nilai perolehan 29,83 miliar dolar AS dan nilai wajar Rp177,23
triliun.
Hadiyanto
menambahkan dalam rangka optimalisasi pengelolaan kekayaan negara maka juga
disusun utilisasi kekayaan negara melalui pemanfaatan, penetapan status
penggunaan, tukar menukar dan penyertaan modal dari BMN.
Dari
hasil utilisasi tersebut telah terhimpun kekayaan negara sebesar Rp103,32
triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp102,56 triliun pada akhir
Desember 2012.
Pemerintah
juga telah berhasil mendapatkan total recovery aset dari eks pengelolaan BPPN,
PPA dan BDL sebesar Rp5,47 triliun yang dihimpun sejak 2007.
"Dari
jumlah tersebut, pada 2012 telah terealisasi Rp1,14 triliun dari target Rp700
miliar," kata Hadiyanto.
Menurut
dia, upaya pengelolaan aset tersebut dapat dilakukan melalui debtor tracing dan
asset tracing, upaya lelang besar-besaran, pemetaan aset potensial serta
penanganan masalah hukum.
Hadiyanto
memastikan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara akan terus melakukan supervisi
terhadap 87 satuan kerja Kementerian Lembaga untuk mewujudkan tata kelola
kekayaan negara yang baik dan akuntabel. (Ant)
Source by: www.analisadaily.com
Renovasi Aset: Perlukah Prosedur Penghapusan?
Dalam pembahasan renovasi aset tetap yang pernah
kami tulis (bagaimana-perlakuan-akuntansi-renovasi-aset-tetap) rupanya masih
menyisakan banyak pertanyaan. Dalam tulisan ini kami akan mencoba menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh Sdri Khansa terkait dengan masalah perlu tidaknya
proses penghapusan, nilai bangunan yang dihapus dan perlakuan akuntansi atas
hasil penjualan material yang dibongkar.
Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa
perlakuan akuntansi renovasi aset tetap sangat tergantung dari definisi
kegiatan renovasi itu sendiri. Apakah renovasi tersebut menambah masa manfaat
ataupun produktifitas tentu menjadi dasar utama dalam penentuan untuk melakukan
kapitalisasi. Hal kedua yang harus diperhatikan
lebih terkait pada sifat renovasi tersebut, apakah bersifat penggantian,
perbaikan, pembaharuan ataupun penambahan. Perbedaan sifat tersebut akan
menjadi pertimbangan dalam menentukan pencatatan seperti apa yang harus
dilakukan. Untuk penjelasan lebih lanjut warkop mania bisa membaca tulisan
terkait dilink yang telah kami sebutkan di atas.
Diskusi ini menjadi makin menarik ketika masuk pada
hal-hal yang lebih detail yang lebih terkait pada sistem dan prosedur
pengelolaan barang milik daerah. Jika renovasi yang dilakukan tergolong berat
dan akan menambah masa manfaat sudah pasti yang berlaku adalah pembaharuan.
Sehingga pencatatan yang harus dilakukan adalah dengan menghapuskan nilai aset
yang lama dan mengganti dengan nilai aset yang baru (perlakuan nomor 2b).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah atas
penghapusan aset lama tersebut perlu mendapatkan persetujuan DPRD? Bagaimana
prosedur penghapusannya? Apakah perlu mengikuti prosedur penghapusan
sebagaimana yang diatur oleh permendagri 17 tahun 2007?
Dalam permendagri 17 Tahun 2007 dinyatakan bahwa
yang dimaksud dengan penghapusan adalah tindakan menghapus barang milik daerah
dari daftar barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang
berwenang untuk membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna dan/atau pengelola
dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam
penguasaannya. Permendagri tersebut memang mengharuskan adanya penerbitan surat
keputusan penghapusan dari pejabat yang berwenang. Bahkan untuk penghapusan
barang-barang yang nilainya diatas Rp 5 milyar harus mendapat persetujuan DPRD
terlebih dahulu.
Nah, apakah penghapusan nilai aktiva lama dari
aktiva yang dilakukan renovasi termasuk dalam definisi penghapusan sebagaimana
yang dimaksud permendagri nomor 17 Tahun 2007?
BMN Setter,
Metode pencatatan atas transaksi aset renovasi yang
mengharuskan unit kerja melakukan penghapusan sebagian nilai aktiva lama pada
dasarnya berbeda dengan definisi penghapusan yang dimaksud oleh permendagri 17
Tahun 2007. Penghapusan nilai aset yang direnovasi hanyalah merupakan bagian
dari akuntansi atas pengeluaran setelah perolehan awal. Dalam buletin teknis
nomor 09 juga disebutkan bahwa pengeluaran setelah perolehan awal mencakup
pengembangan dan penggantian utama. Terhadap penggantian utama juga dinyatakan
bahwa biaya penggantian utama ini akan dikapitalisasi dengan cara mengurangi
nilai bagian yang diganti dari harga aset tetap yang semula dan menambahkan
biaya penggantian. Permendagri 13 Tahun 2006 menyinggung masalah pengeluaran
setelah perolehan awal. Pada pasal 253 dinyatakan bahwa prosedur akuntansi aset
pada SKPD meliputi pencatatan dan pelaporan akuntansi atas perolehan,
pemeliharaan, rehabilitasi, perubahan klasifikasi, dan penyusutan terhadap aset
tetap yang dikuasai/digunakan SKPD. Sedangkan prosedur akuntansi aset pada
SKPKD, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 278, meliputi serangkaian proses
pencatatan dan pelaporan akuntansi atas perolehan, pemeliharaan, rehabilitasi,
penghapusan, pemindahtanganan, perubahan klasifikasi, dan penyusutan terhadap
aset tetap yang dikuasai/digunakan SKPKD yang dapat dilakukan secara manual
atau menggunakan aplikasi komputer. Dari penjelasan ini terlihat bahwa ada
pembedaan antara akuntansi untuk rehabilitasi dan penghapusan. Dengan kata
lain, penghapusan atas nilai aset yang direhabilitasi adalah bagian dari proses
pencatatan dan pelaporan akuntansi atas rehabilitasi bukan bagian dari
akuntansi penghapusan.
Selanjutnya, jika menilik dari definisi penghapusan dalam
permendagri 17 Tahun 2007 maka yang dimaksudkan di sini adalah penghapusan
suatu aset secara keseluruhan. Permendagri tersebut menyatakan bahwa
penghapusan adalah tindakan untuk menghapuskan BMD dari daftar barang. Dalam
hal rehabilitasi berat yang dilakukan bukanlah menghapuskan BMD dari daftar
barang. Barang tersebut masih tetap tercatat dalam daftar barang. Hanya saja
perlu dilakukan pencatatan atas perubahan nilai barang karena adanya kegiatan
rehabilitasi. Nah, kegiatan rehabilitasi berat yang dimaksud di sini pada
dasarnya justru lebih tepat dikatakan sebagai pemeliharaan dalam definisi
permendagri 17 Tahun 2007. Terkait dengan hal ini dinyatakan bahwa pemeliharaan
adalah kegiatan atau tindakan yang dilakukan agar semua barang milik daerah
selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdaya guna dan
berhasil guna.
Jadi?
Penghapusan nilai aktiva lama sebagai bagian dari
kegiatan rehabilitasi berat yang menambah masa manfaat aktiva tetap bukanlah
merupakan bagian dari prosedur pencatatan penghapusan aset namun bagian dari
kegiatan pemeliharaan yang diatur dalam permendagri 17 tahun 2007. Dengan
demikian, tidak diperlukan persetujuan DPRD untuk melakukan penghapusan nilai
aktiva lama untuk kemudian mengkapitalisasi nilai aset hasil rehabilitasi.
Sehingga, prosedur penghapusan sebagaimana yang diberlakukan untuk menghapus aset
dari daftar BMD tidak diperlukan.
Lalu, bagaimana cara untuk menentukan nilai bangunan
yang dihapus?
Telah dijelaskan dahulu bahwa untuk melakukan
mencatat rehabilitasi berat/penggantian ini maka yang dapat dilakukan adalah
jika biaya komponen lama diketahui maka yang dilakukan adalah dengan
menghapuskan biaya komponen lama dan akumulasi penyusutannya dengan mengakui
keuntungan atau kerugian dan mengkapitalisasi biaya komponen baru. Jika biaya
komponen baru tidak diketahui maka yang perlu dilakukan adalah dengan
mengurangkan biaya komponen baru dari akumulasi penyusutan. Permasalahan yang
saat ini terjadi adalah pemda belum menerapkan penyusutan sehingga yang bisa
dilakukan adalah dengan langsung mengurangkan nilai komponen lama dengan
berdasarkan harga perolehan pada saat pembangunan gedung.
Bagaimana dengan hasil penjualan atas sisa
bongkaran? Apakah dicatat sebagai lain-lain pendapatan ataukah mengurangi nilai
bangunan yang baru?
Ya, penjualan atas sisa bongkaran dicatat sebagai
pendapatan. Hal ini dapat dijelaskan oleh lampiran permendagri 21 Tahun 2010
terkait kode rekening pendapatan. Penjualan atas sisa bongkaran ini termasuk
bagian dari pendapatan lain-lain dalam kode rekening 4140110 penjualan
bahan-bahan bekas bangunan.
Kapan Sebuah KDP diakui sebagai Aset Tetap Definitif ?
Akhir-akhir ini banyak orang memperbincangkan dan
mendiskusikan tentang pengakuan penyelesaian Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP).
Apa sih yang menarik? Bukankah sudah ada Pernyataan SAP Nomor 8 tentang
Akuntansi KDP? Bukankah dalam Bab VII Buletin Teknis (Bultek) SAP Nomor 9
tentang Akuntansi Aset Tetap juga telah dijelaskan hal yang sama?
Usut punya usut ternyata ada sedikit ‘masalah’ dalam
Bab VII Bultek SAP Nomor 9 tersebut. Masalah itu terkait dengan kapan
sebenarnya suatu KDP (khususnya yang diperoleh melalui kontrak konstruksi)
diakui sebagai Aset Tetap. Rupanya penjelasan mengenai Penyelesaian KDP pada
halaman 31-32 Bultek SAP Nomor 9 tersebut berbeda dengan uraian pada huruf E
Contoh Kasus nomor 4 pada halaman 36-38, dimana di sana diketengahkan contoh
kasus pembangunan gedung dengan kontrak konstruksi disertai jurnal transaksi
kapan suatu KDP dipindahkan ke Aset Tetap Definitifnya.
Lebih jelasnya begini…..
Dengan merujuk paragraf 15 PSAP Nomor 8, Bultek SAP
Nomor 9 di halaman 31 menyatakan bahwa suatu KDP akan dipindahkan ke pos aset
tetap yang bersangkutan jika konstruksi secara substansi telah selesai
dikerjakan dan konstruksi tersebut telah dapat memberikan manfaat/jasa sesuai
tujuan perolehan. Selanjutnya dinyatakan
bahwa dokumen sumber untuk pengakuan penyelesaian suatu KDP adalah Berita Acara
Penyelesaian Pekerjaan (BAPP). Dengan demikian, apabila suatu KDP telah
diterbitkan BAPP, berarti pembangunan tersebut sudah selesai. Lebih lanjut,
pencatatan suatu transaksi perlu mengikuti sistem akuntansi yang ditetapkan
dengan pohon putusan (decision tree) sebagai berikut: 1. atas dasar bukti
transaksi yang obyektif (objective evidences); dan 2. dalam hal tidak
dimungkinkan adanya bukti transaksi yang obyektif maka digunakan prinsip
substansi mengungguli bentuk formal (substance over form). Dalam kasus-kasus
spesifik dapat terjadi
variasi dalam penyelesaian KDP. Oleh karena itu buletin
teknis tersebut memberikan pedoman sebagai berikut:
1. Apabila
aset telah selesai
dibangun, BAPP sudah
diperoleh, dan aset
tetap tersebut sudah
dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka aset tersebut dicatat sebagai Aset
Tetap Definitifnya.
2. Apabila
aset tetap telah
selesai dibangun, BAPP sudah diperoleh, namun aset tetap
tersebut belum dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka aset tersebut dicatat
sebagai Aset Tetap Definitifnya.
3. Apabila
aset telah selesai
dibangun yang didukung dengan
bukti yang sah (walaupun BAPP belum diperoleh) namun
aset tetap tersebut sudah dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka aset tersebut masih dicatat sebagai KDP dan
diungkapkan di dalam CaLK.
4. Apabila
sebagian dari aset tetap yang dibangun telah selesai, dan telah
digunakan/dimanfaatkan, maka bagian yang digunakan/dimanfaatkan masih
diakui sebagai KDP (Dalam kasus ini, BAPP tidak dapat diberlakukan untuk
sebagian saja dari pekerjaan yang telah selesai dibangun).
5. Apabila Berita Acara Serah Terima sudah ada,
namun fisik pekerjaan belum selesai,
akan diakui sebagai KDP.
Namun kalau Anda mencermati contoh jurnal transaksi
yang mendasarkan pada contoh kasus transaksi pembangunan gedung dengan kontrak
konstruksi pada halaman 36-38, maka akan ditemui di sana bahwa pengakuan
penyelesaian suatu KDP– untuk itu harus dipindahkan ke pos aset tetap yang
bersangkutan–adalah pada saat retensi 5% dibayarkan berdasarkan Berita Acara
Serah Terima Kedua.
Sekarang menjadi jelas kan perbedaan yang terjadi?
Aneh bukan? Bagaimana nggak aneh, dalam Bultek yang sama terdapat dua
pengaturan, meskipun yang terakhir hanya contoh kasus. Konon katanya auditor
lebih merujuk kepada contoh jurnal dalam kasus halaman 36-38 Bultek Nomor 9 tersebut.
Sementara itu pemerintah daerah lebih banyak merujuk pada pengaturan sesuai SAP
dan Bultek Nomor 9 halaman 31-32. Namun bagaimana akhirnya? Ya dapat ditebak,
pemerintah daerah harus melakukan koreksi dalam laporan keuangannya seperti
kemauan auditor.
Warkop Mania…..Sepertinya jadi menarik untuk dikaji
lebih jauh ya?
Kita tidak akan membahas mengapa sampai ada dua
pengaturan yang berbeda dalam Bultek Nomor 9. Apakah memang ada unsur kelalaian
dalam pembuatan Bultek Nomor 9 tersebut?
Nah, perbedaan kedua pengaturan dalam Bultek Nomor 9
mengenai kapan pengakuan penyelesaian suatu KDP sebenarnya terletak pada
dokumen sumber yang digunakan. Bultek Nomor 9 halaman 31-32 mendasarkan
pengakuan penyelesaian KDP pada dokumen Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan
(BAPP), sedangkan Bultek Nomor 9 halaman 36-38 mendasarkan pada dokumen Berita
Acara Serah Terima Kedua.
Kalau kita merujuk Perpres Nomor 54 Tahun 2010,
istilah Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP) lebih dikenal sebagai Berita
Acara Penyerahan Pertama Pekerjaan atau PHO (Provisian Hand Over). Sedangkan
Berita Acara Serah Terima Kedua lebih dikenal sebagai Berita Acara Serah Terima
Akhir Pekerjaan atau FHO (Final Hand Over).
Dokumen PHO adalah dokumen yang ditandatangani oleh
PPK dan Kontraktor yang menyatakan bahwa pekerjaan telah selesai dikerjakan
(100%) sesuai kontrak berdasarkan penilaian Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan atas hasil pekerjaan yang telah diselesaikan oleh Kontraktor. Intinya
adalah bahwa pekerjaan telah selesai (100%) dan dapat digunakan/dimanfaatkan
oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Sedangkan dokumen FHO adalah
dokumen serah terima akhir pekerjaan konstruksi setelah berakhirnya masa
pemeliharaan, di mana masa pemeliharaan
tersebut dapat melampaui tahun anggaran. Sesuai Perpres Nomor 54 Tahun
2010, masa pemeliharaan paling singkat untuk pekerjaan permanen adalah selama 6
bulan, sedangkan untuk pekerjaan semi permanen selama 3 bulan. FHO
ditandatangani oleh PPK, Kontraktor, dan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Nah, kalau kita berangkat dari pengertian
sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010, maka lebih tepat apabila
pengakuan penyelesaian KDP atau kapan suatu KPD dapat dialihkan ke pos Aset
Tetap Definitifnya adalah pada saat penyerahan pekerjaan yang pertama atau
berdasarkan dokumen PHO. Hal ini sesuai dengan pengakuan penyelesaian KDP
sesuai Paragraf 15 PSAP Nomor 8 bahwa KDP dipindahkan ke pos aset tetap yang
bersangkutan jika kriteria berikut ini terpenuhi: (a) konstruksi secara substansi
telah selesai dikerjakan; dan (b) dapat memberikan manfaat/jasa sesuai dengan
tujuan perolehan. Kesimpulannya, suatu
KDP dipindahkan ke aset tetap yang bersangkutan setelah pekerjaan konstruksi
tersebut dinyatakan selesai dan siap digunakan sesuai dengan tujuan
perolehannya.
Sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2010, dokumen PHO
dijadikan dasar untuk melakukan pembayaran. Pembayaran kepada penyedia
barang/jasa dapat ditempuh dalam 2 cara, yaitu 1) pembayaran dilakukan sebesar
95% dari nilai kontrak, sedangkan sisanya yang 5% baru dapat dibayarkan setelah
14 hari sejak berakhirnya masa pemeliharaan sesuai kontrak (retensi selama masa
pemeliharaan); dan 2) pembayaran
dilakukan sebesar 100%
dari nilai kontrak, namun kontraktor harus menyerahkan Jaminan Pemeliharaan sebesar
5% dari
nilai kontrak.
Nah, jika dikaitkan dengan pengakuan penyelesaian
KDP sesuai Bultek Nomor 9 halaman 31-32, maka pilihan pembayaran cara 1 maupun cara 2 tidak akan membawa implikasi
apa-apa karena dokumen sumber pengakuan pengalihan KDP ke pos Aset Tetap
Definitifnya didasarkan pada PHO. Dalam hal pengukuran nilai perolehan KDP
sebelum pengalihannya ke Aset Tetap Definitifnya, dengan pilihan pembayaran
cara 1 nilai perolehan KDP merupakan jumlah dari termin yang telah dibayarkan
(95%) dan kewajiban yang belum dibayarkan kepada Kontraktor (5%). Sedangkan
dengan pilihan pembayaran cara 2 nilai perolehan KDP sebelum pengalihannya ke
Aset Tetap Definitifnya adalah sebesar
termin yang telah dibayarkan sesuai tingkat penyelesaian pekerjaan (100%).
Pengukuran nilai KDP dalam kedua cara pilihan pembayaran tersebut telah sesuai
dengan Paragraf 21 PSAP Nomor 8 maupun Bultek Nomor 9. Nilai perolehan KDP
dengan menggunakan dua pilihan cara pembayaran di atas adalah sama yaitu sebesar
nilai kontrak yang telah selesai dilaksanakan oleh kontraktor. Ketika KDP
dialihkan ke Aset Tetap Definitifnya, maka nilai Aset Tetap Definitifnya adalah
sebesar nilai kontrak pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan oleh
kontraktor.
Sedangkan jika dikaitkan dengan pengakuan
penyelesaian KDP sesuai Bultek Nomor 9 halaman 36-38, maka pilihan pembayaran
cara 1 maupun cara 2 membawa implikasi
pada belum dapat dialihkannya KDP ke Aset Tetap Definitifnya. Sekalipun pada
pilihan pembayaran cara 2 pemerintah daerah telah melakukan pembayaran 100%,
namun aset tersebut belum juga dapat dialihkan ke pos aset tetap definitifnya
karena dokumen sumber pengakuannya didasarkan pada FHO. Artinya, sampai akhir
tahun anggaran, atas aset konstruksi tersebut masih dicatat sebagai KDP.
Selanjutnya, terkait nilai perolehan KDP yang akan disajikan dalam neraca,
pilihan pembayaran cara 1 tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam
Paragraf 21 PSAP Nomor 8 maupun Bultek Nomor 9. Selain itu, dalam banyak
kasus–hal yang sering dikeluhkan oleh pemerintah daerah—pilihan pembayaran cara
1 mengakibatkan kontraktor ‘malas’
mengambil retensi 5%. Akibatnya aset tersebut akan selalu tercatat
sebagai KDP dalam neraca pemerintah daerah setiap tahunnya. Padahal secara
fisik aset tersebut sudah selesai dan malah sudah digunakan/dimanfaatkan oleh
SKPD/Satker. Di sisi lainnya, pengadministrasian retensi memerlukan biaya
pengelolaan yang cukup besar dan merepotkan pemerintah daerah. Setidaknya, SKPD
dan BUD harus selalu melakukan rekonsiliasi data terkait retensi dan KDP, tidak
boleh lupa untuk menganggarkan dalam APBD tahun berikutnya karena termasuk
belanja wajib, serta memantau penyelesaian pembayaran retensi dan pencatatan
pengalihan KDP ke Aset Tetap Definitifnya.
Jadi?
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, maka sebaiknya pemerintah daerah membuat kebijakan mengenai
pembayaran terkait kontrak konstruksi dan kebijakan akuntansi terkait
pengalihan KDP ke pos Aset Tetap Definitifnya yang tidak merepotkan dan menghabiskan
‘energi’ yaitu: 1) membuat kebijakan pembayaran terkait kontrak konstruksi
berupa pembayaran 100% kepada kontraktor berdasarkan dokumen PHO yang disertai
kewajiban kontraktor menyerahkan Jaminan Pemeliharaan, 2) membuat kebijakan
akuntansi yang menyatakan bahwa berdasarkan PHO, suatu KDP dapat dialihkan
pencatatannya ke pos Aset Tetap Definitifnya.
Bagai Mana Pendapat Anda BMN Setter?
Subscribe to:
Posts (Atom)