BMN BWS-SI

Cara Partisi Hard Disk di Windows 7

Terkhusus buat Bang Ajir Tercinta yang menggunakan windows 7, jika ingin mempartisi harddisk menjadi beberapa partisi tanpa menggunakan software, bisa diikuti langkah-langkah berikut ini :
Klik kanan [computer] > pilih [manage]
Pada jendela “computer management”, pilih [storage] kemudian pilih [disk management].


Pada jendela sebelah kanan terlihat jumlah partisi yang telah ada. Kemuian klik kanan pada harddisk yang mau dipartisi. ( Kalau baru terdapat 1 partisi misal C: klik kanan pada partisi C:, kalau sudah ada beberapa partisi “seperti gambar dibawah” dan mau di partisi lagi maka klik kanan pada drive yang mau di partisi lagi ) kemudian pilih [Shrink Volume].

Muncul “querying shrink space” dan tunggu sebentar.
Muncul jendela shrink. Disini shobat diminta untuk menentukan volume partisi yang mau dibuat. Isikan saja berapa volume sesuai dengan yang shobat rencanakan. Setelah itu klik [Shrink].


Maka akan muncullah partisi baru yang masih belum terformat atau free space ( lihat partisi dengan gambar hijau ). Sampai disini partisi baru masih belum bisa digunakan.


Untuk memformat partisi agar bisa digunakan, klik kanan pada “free space” tadi kemudian pilih [new simple volume].


Muncul [New simple volume wizard] > klik [next].
Muncul jendela [specify volume size] > klik [next] lagi
Muncul jendela [assign drive letter or path] > klik [next] lagi.
Muncul jendela [format partition]. Pada file system pilih saja NTFS, kemudian pada volume label > isikan “nama label drive partisi anda”, kemudian klik [next].


muncul jendela [completing the new simple volume wizard]. Sebelum klik finish lihat dulu informasi yang tertera. Kalau belum sesuai dengan keinginan shobat, klik [back], kalau sudah sesuai silahkan klik [finish]
Maka partisi harddisk telah selesai dan siap untuk dipergunakan.

Untuk mengecek partisi yang baru, cobalah buka windows explorer. Bila prosesnya telah benar maka akan muncul partisi baru sesuai dengan label yang telah shobat buat tadi.


READMORE
 

Potret Aset



Potret Aset Dan Hasil Yang Dicapai

1.    Sampai dengan tahun 2007, aset/ kekayaan Departemen Pekerjaan Umum telah dicatat dalam Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN) dan telah dilaporkan kepada Menteri Keuangan berdasarkan surat Nomor KU.05.09-Sj/136 tanggal 14 Maret 2008 perihal Laporan Penatausahaan BMN TA 2007. Mengingat kekayaan tersebut belum didata seluruhnya, akan dilakukan pendataan ulang dan revaluasi nilai aset sehingga dapat ditentukan nilai BMN yang akuntabel;

2.    Pembentukan Tim Penertiban dan Inventarisasi BMN di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 227/KPTS/M/2008 sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 17 Tahun 2007;

3.    Pembentukan Tim Inventarisasi Rumah Negara Golongan I dan II di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 293/KPTS/M/2008 yang akan melakukan inventarisasi dan identifikasi status rumah negara dan penghuniannya di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum;

4.    Evaluasi Penatausahaan Barang Milik Negara (BMN) Departemen Pekerjaan Umum Tahun Anggaran 2007;

5.    Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor 04/SE/M/2008 perihal Penertiban Barang Milik Negara (BMN) di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum;
Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/SE/M/2008 perihal Tata Cara Penyusunan Laporan Barang Milik Negara (BMN) Semesteran dan Tahunandi lingkungan Departemen Pekerjaan Umum.


READMORE
 

Kemenkeu: Nilai BMN Rp1.726,33 Triliun


Jakarta, (Analisa). Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto mengatakan nilai pengelolaan aset barang milik negara (BMN) hingga pertengahan tahun 2012 mencapai Rp1.726,33 triliun.

"Dari nilai keseluruhan tersebut, sebesar 93,79 persen atau Rp1.619,23 triliun merupakan aset tetap," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat.

Menurut Hadiyanto, jumlah tersebut meningkat 626 persen dibandingkan angka aset BMN pada tahun 2005 yang hanya mencapai Rp237,78 triliun.

"Kenaikan ini merupakan pencapaian program penertiban BMN melalui inventarisasi dan penilaian terhadap aset di Kementerian Lembaga sejak tahun 2007," ujarnya.

Kenaikan tersebut juga terjadi akibat adanya penilaian kembali atas aset-aset yang diperoleh sampai akhir Desember 2004 dalam rangka penertiban BMN yang telah dikoreksi hingga RP446 triliun.

"Kenaikan juga karena adanya peningkatan belanja modal untuk pengadaan baru sejak 2005," ujar Hadiyanto.

Selain itu, berdasarkan inventarisasi dan penilaian aset atas BMN yang dilakukan terhadap 78 Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi (KKKS Migas) tercatat nilai perolehan 29,83 miliar dolar AS dan nilai wajar Rp177,23 triliun.

Hadiyanto menambahkan dalam rangka optimalisasi pengelolaan kekayaan negara maka juga disusun utilisasi kekayaan negara melalui pemanfaatan, penetapan status penggunaan, tukar menukar dan penyertaan modal dari BMN.

Dari hasil utilisasi tersebut telah terhimpun kekayaan negara sebesar Rp103,32 triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp102,56 triliun pada akhir Desember 2012.

Pemerintah juga telah berhasil mendapatkan total recovery aset dari eks pengelolaan BPPN, PPA dan BDL sebesar Rp5,47 triliun yang dihimpun sejak 2007.

"Dari jumlah tersebut, pada 2012 telah terealisasi Rp1,14 triliun dari target Rp700 miliar," kata Hadiyanto.

Menurut dia, upaya pengelolaan aset tersebut dapat dilakukan melalui debtor tracing dan asset tracing, upaya lelang besar-besaran, pemetaan aset potensial serta penanganan masalah hukum.

Hadiyanto memastikan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara akan terus melakukan supervisi terhadap 87 satuan kerja Kementerian Lembaga untuk mewujudkan tata kelola kekayaan negara yang baik dan akuntabel. (Ant)

Source by: www.analisadaily.com


READMORE
 

Renovasi Aset: Perlukah Prosedur Penghapusan?



Dalam pembahasan renovasi aset tetap yang pernah kami tulis (bagaimana-perlakuan-akuntansi-renovasi-aset-tetap) rupanya masih menyisakan banyak pertanyaan. Dalam tulisan ini kami akan mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Sdri Khansa terkait dengan masalah perlu tidaknya proses penghapusan, nilai bangunan yang dihapus dan perlakuan akuntansi atas hasil penjualan material yang dibongkar.

Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa perlakuan akuntansi renovasi aset tetap sangat tergantung dari definisi kegiatan renovasi itu sendiri. Apakah renovasi tersebut menambah masa manfaat ataupun produktifitas tentu menjadi dasar utama dalam penentuan untuk melakukan kapitalisasi. Hal kedua yang harus diperhatikan  lebih terkait pada sifat renovasi tersebut, apakah bersifat penggantian, perbaikan, pembaharuan ataupun penambahan. Perbedaan sifat tersebut akan menjadi pertimbangan dalam menentukan pencatatan seperti apa yang harus dilakukan. Untuk penjelasan lebih lanjut warkop mania bisa membaca tulisan terkait dilink yang telah kami sebutkan di atas.

Diskusi ini menjadi makin menarik ketika masuk pada hal-hal yang lebih detail yang lebih terkait pada sistem dan prosedur pengelolaan barang milik daerah. Jika renovasi yang dilakukan tergolong berat dan akan menambah masa manfaat sudah pasti yang berlaku adalah pembaharuan. Sehingga pencatatan yang harus dilakukan adalah dengan menghapuskan nilai aset yang lama dan mengganti dengan nilai aset yang baru (perlakuan nomor 2b).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah atas penghapusan aset lama tersebut perlu mendapatkan persetujuan DPRD? Bagaimana prosedur penghapusannya? Apakah perlu mengikuti prosedur penghapusan sebagaimana yang diatur oleh permendagri 17 tahun 2007?

Dalam permendagri 17 Tahun 2007 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penghapusan adalah tindakan menghapus barang milik daerah dari daftar barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna dan/atau pengelola dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya. Permendagri tersebut memang mengharuskan adanya penerbitan surat keputusan penghapusan dari pejabat yang berwenang. Bahkan untuk penghapusan barang-barang yang nilainya diatas Rp 5 milyar harus mendapat persetujuan DPRD terlebih dahulu.

Nah, apakah penghapusan nilai aktiva lama dari aktiva yang dilakukan renovasi termasuk dalam definisi penghapusan sebagaimana yang dimaksud permendagri nomor 17 Tahun 2007?

BMN Setter,

Metode pencatatan atas transaksi aset renovasi yang mengharuskan unit kerja melakukan penghapusan sebagian nilai aktiva lama pada dasarnya berbeda dengan definisi penghapusan yang dimaksud oleh permendagri 17 Tahun 2007. Penghapusan nilai aset yang direnovasi hanyalah merupakan bagian dari akuntansi atas pengeluaran setelah perolehan awal. Dalam buletin teknis nomor 09 juga disebutkan bahwa pengeluaran setelah perolehan awal mencakup pengembangan dan penggantian utama. Terhadap penggantian utama juga dinyatakan bahwa biaya penggantian utama ini akan dikapitalisasi dengan cara mengurangi nilai bagian yang diganti dari harga aset tetap yang semula dan menambahkan biaya penggantian. Permendagri 13 Tahun 2006 menyinggung masalah pengeluaran setelah perolehan awal. Pada pasal 253 dinyatakan bahwa prosedur akuntansi aset pada SKPD meliputi pencatatan dan pelaporan akuntansi atas perolehan, pemeliharaan, rehabilitasi, perubahan klasifikasi, dan penyusutan terhadap aset tetap yang dikuasai/digunakan SKPD. Sedangkan prosedur akuntansi aset pada SKPKD, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 278, meliputi serangkaian proses pencatatan dan pelaporan akuntansi atas perolehan, pemeliharaan, rehabilitasi, penghapusan, pemindahtanganan, perubahan klasifikasi, dan penyusutan terhadap aset tetap yang dikuasai/digunakan SKPKD yang dapat dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi komputer. Dari penjelasan ini terlihat bahwa ada pembedaan antara akuntansi untuk rehabilitasi dan penghapusan. Dengan kata lain, penghapusan atas nilai aset yang direhabilitasi adalah bagian dari proses pencatatan dan pelaporan akuntansi atas rehabilitasi bukan bagian dari akuntansi penghapusan.

Selanjutnya, jika menilik dari definisi penghapusan dalam permendagri 17 Tahun 2007 maka yang dimaksudkan di sini adalah penghapusan suatu aset secara keseluruhan. Permendagri tersebut menyatakan bahwa penghapusan adalah tindakan untuk menghapuskan BMD dari daftar barang. Dalam hal rehabilitasi berat yang dilakukan bukanlah menghapuskan BMD dari daftar barang. Barang tersebut masih tetap tercatat dalam daftar barang. Hanya saja perlu dilakukan pencatatan atas perubahan nilai barang karena adanya kegiatan rehabilitasi. Nah, kegiatan rehabilitasi berat yang dimaksud di sini pada dasarnya justru lebih tepat dikatakan sebagai pemeliharaan dalam definisi permendagri 17 Tahun 2007. Terkait dengan hal ini dinyatakan bahwa pemeliharaan adalah kegiatan atau tindakan yang dilakukan agar semua barang milik daerah selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Jadi?

Penghapusan nilai aktiva lama sebagai bagian dari kegiatan rehabilitasi berat yang menambah masa manfaat aktiva tetap bukanlah merupakan bagian dari prosedur pencatatan penghapusan aset namun bagian dari kegiatan pemeliharaan yang diatur dalam permendagri 17 tahun 2007. Dengan demikian, tidak diperlukan persetujuan DPRD untuk melakukan penghapusan nilai aktiva lama untuk kemudian mengkapitalisasi nilai aset hasil rehabilitasi. Sehingga, prosedur penghapusan sebagaimana yang diberlakukan untuk menghapus aset dari daftar BMD tidak diperlukan.

Lalu, bagaimana cara untuk menentukan nilai bangunan yang dihapus?

Telah dijelaskan dahulu bahwa untuk melakukan mencatat rehabilitasi berat/penggantian ini maka yang dapat dilakukan adalah jika biaya komponen lama diketahui maka yang dilakukan adalah dengan menghapuskan biaya komponen lama dan akumulasi penyusutannya dengan mengakui keuntungan atau kerugian dan mengkapitalisasi biaya komponen baru. Jika biaya komponen baru tidak diketahui maka yang perlu dilakukan adalah dengan mengurangkan biaya komponen baru dari akumulasi penyusutan. Permasalahan yang saat ini terjadi adalah pemda belum menerapkan penyusutan sehingga yang bisa dilakukan adalah dengan langsung mengurangkan nilai komponen lama dengan berdasarkan harga perolehan pada saat pembangunan gedung.

Bagaimana dengan hasil penjualan atas sisa bongkaran? Apakah dicatat sebagai lain-lain pendapatan ataukah mengurangi nilai bangunan yang baru?

Ya, penjualan atas sisa bongkaran dicatat sebagai pendapatan. Hal ini dapat dijelaskan oleh lampiran permendagri 21 Tahun 2010 terkait kode rekening pendapatan. Penjualan atas sisa bongkaran ini termasuk bagian dari pendapatan lain-lain dalam kode rekening 4140110 penjualan bahan-bahan bekas bangunan.

READMORE
 

Kapan Sebuah KDP diakui sebagai Aset Tetap Definitif ?


Akhir-akhir ini banyak orang memperbincangkan dan mendiskusikan tentang pengakuan penyelesaian Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP). Apa sih yang menarik? Bukankah sudah ada Pernyataan SAP Nomor 8 tentang Akuntansi KDP? Bukankah dalam Bab VII Buletin Teknis (Bultek) SAP Nomor 9 tentang Akuntansi Aset Tetap juga telah dijelaskan hal yang sama?

Usut punya usut ternyata ada sedikit ‘masalah’ dalam Bab VII Bultek SAP Nomor 9 tersebut. Masalah itu terkait dengan kapan sebenarnya suatu KDP (khususnya yang diperoleh melalui kontrak konstruksi) diakui sebagai Aset Tetap. Rupanya penjelasan mengenai Penyelesaian KDP pada halaman 31-32 Bultek SAP Nomor 9 tersebut berbeda dengan uraian pada huruf E Contoh Kasus nomor 4 pada halaman 36-38, dimana di sana diketengahkan contoh kasus pembangunan gedung dengan kontrak konstruksi disertai jurnal transaksi kapan suatu KDP dipindahkan ke Aset Tetap Definitifnya.

Lebih jelasnya begini…..

Dengan merujuk paragraf 15 PSAP Nomor 8, Bultek SAP Nomor 9 di halaman 31 menyatakan bahwa suatu KDP akan dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan jika konstruksi secara substansi telah selesai dikerjakan dan konstruksi tersebut telah dapat memberikan manfaat/jasa sesuai tujuan perolehan.  Selanjutnya dinyatakan bahwa dokumen sumber untuk pengakuan penyelesaian suatu KDP adalah Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP). Dengan demikian, apabila suatu KDP telah diterbitkan BAPP, berarti pembangunan tersebut sudah selesai. Lebih lanjut, pencatatan suatu transaksi perlu mengikuti sistem akuntansi yang ditetapkan dengan pohon putusan (decision tree) sebagai berikut: 1. atas dasar bukti transaksi yang obyektif (objective evidences); dan 2. dalam hal tidak dimungkinkan adanya bukti transaksi yang obyektif maka digunakan prinsip substansi mengungguli bentuk formal (substance over form). Dalam   kasus-kasus   spesifik   dapat   terjadi   variasi   dalam   penyelesaian KDP. Oleh karena itu buletin teknis tersebut memberikan pedoman sebagai berikut:

1. Apabila   aset   telah   selesai   dibangun,   BAPP  sudah  diperoleh,   dan   aset   tetap   tersebut   sudah   dimanfaatkan   oleh   SKPD/Satker,   maka aset tersebut dicatat sebagai Aset Tetap Definitifnya.

2. Apabila   aset   tetap   telah   selesai   dibangun,   BAPP sudah diperoleh, namun aset tetap tersebut belum dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka aset tersebut dicatat sebagai Aset Tetap Definitifnya.

3. Apabila    aset   telah  selesai   dibangun yang    didukung    dengan     bukti  yang   sah (walaupun BAPP belum diperoleh) namun aset tetap tersebut sudah dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka  aset tersebut masih dicatat sebagai KDP dan diungkapkan di dalam CaLK.

4.  Apabila sebagian dari aset tetap yang dibangun telah selesai, dan telah digunakan/dimanfaatkan, maka bagian yang digunakan/dimanfaatkan  masih  diakui sebagai KDP (Dalam kasus ini, BAPP tidak dapat diberlakukan untuk sebagian saja dari pekerjaan yang telah selesai dibangun).

5. Apabila Berita Acara Serah Terima sudah ada, namun  fisik pekerjaan belum selesai, akan diakui sebagai KDP.

Namun kalau Anda mencermati contoh jurnal transaksi yang mendasarkan pada contoh kasus transaksi pembangunan gedung dengan kontrak konstruksi pada halaman 36-38, maka akan ditemui di sana bahwa pengakuan penyelesaian suatu KDP– untuk itu harus dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan–adalah pada saat retensi 5% dibayarkan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Kedua.

Sekarang menjadi jelas kan perbedaan yang terjadi? Aneh bukan? Bagaimana nggak aneh, dalam Bultek yang sama terdapat dua pengaturan, meskipun yang terakhir hanya contoh kasus. Konon katanya auditor lebih merujuk kepada contoh jurnal dalam kasus halaman 36-38 Bultek Nomor 9 tersebut. Sementara itu pemerintah daerah lebih banyak merujuk pada pengaturan sesuai SAP dan Bultek Nomor 9 halaman 31-32. Namun bagaimana akhirnya? Ya dapat ditebak, pemerintah daerah harus melakukan koreksi dalam laporan keuangannya seperti kemauan auditor.

Warkop Mania…..Sepertinya jadi menarik untuk dikaji lebih jauh ya?

Kita tidak akan membahas mengapa sampai ada dua pengaturan yang berbeda dalam Bultek Nomor 9. Apakah memang ada unsur kelalaian dalam pembuatan Bultek Nomor 9 tersebut?

Nah, perbedaan kedua pengaturan dalam Bultek Nomor 9 mengenai kapan pengakuan penyelesaian suatu KDP sebenarnya terletak pada dokumen sumber yang digunakan. Bultek Nomor 9 halaman 31-32 mendasarkan pengakuan penyelesaian KDP pada dokumen Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP), sedangkan Bultek Nomor 9 halaman 36-38 mendasarkan pada dokumen Berita Acara Serah Terima Kedua.

Kalau kita merujuk Perpres Nomor 54 Tahun 2010, istilah Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP) lebih dikenal sebagai Berita Acara Penyerahan Pertama Pekerjaan atau PHO (Provisian Hand Over). Sedangkan Berita Acara Serah Terima Kedua lebih dikenal sebagai Berita Acara Serah Terima Akhir Pekerjaan atau FHO (Final Hand Over).

Dokumen PHO adalah dokumen yang ditandatangani oleh PPK dan Kontraktor yang menyatakan bahwa pekerjaan telah selesai dikerjakan (100%) sesuai kontrak berdasarkan penilaian Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan atas hasil pekerjaan yang telah diselesaikan oleh Kontraktor. Intinya adalah bahwa pekerjaan telah selesai (100%) dan dapat digunakan/dimanfaatkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Sedangkan dokumen FHO adalah dokumen serah terima akhir pekerjaan konstruksi setelah berakhirnya masa pemeliharaan, di mana masa pemeliharaan  tersebut dapat melampaui tahun anggaran. Sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2010, masa pemeliharaan paling singkat untuk pekerjaan permanen adalah selama 6 bulan, sedangkan untuk pekerjaan semi permanen selama 3 bulan. FHO ditandatangani oleh PPK, Kontraktor, dan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.

Nah, kalau kita berangkat dari pengertian sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010, maka lebih tepat apabila pengakuan penyelesaian KDP atau kapan suatu KPD dapat dialihkan ke pos Aset Tetap Definitifnya adalah pada saat penyerahan pekerjaan yang pertama atau berdasarkan dokumen PHO. Hal ini sesuai dengan pengakuan penyelesaian KDP sesuai Paragraf 15 PSAP Nomor 8 bahwa KDP dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan jika kriteria berikut ini terpenuhi: (a) konstruksi secara substansi telah selesai dikerjakan;  dan (b)    dapat memberikan manfaat/jasa sesuai dengan tujuan perolehan.  Kesimpulannya, suatu KDP dipindahkan ke aset tetap yang bersangkutan setelah pekerjaan konstruksi tersebut dinyatakan selesai dan siap digunakan sesuai dengan tujuan perolehannya.

Sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2010, dokumen PHO dijadikan dasar untuk melakukan pembayaran. Pembayaran kepada penyedia barang/jasa dapat ditempuh dalam 2 cara, yaitu 1) pembayaran dilakukan sebesar 95% dari nilai kontrak, sedangkan sisanya yang 5% baru dapat dibayarkan setelah 14 hari sejak berakhirnya masa pemeliharaan sesuai kontrak (retensi selama masa pemeliharaan); dan 2) pembayaran  dilakukan  sebesar  100%  dari   nilai   kontrak, namun  kontraktor harus  menyerahkan Jaminan Pemeliharaan sebesar 5%  dari  nilai kontrak.

Nah, jika dikaitkan dengan pengakuan penyelesaian KDP sesuai Bultek Nomor 9 halaman 31-32, maka pilihan pembayaran cara 1  maupun cara 2 tidak akan membawa implikasi apa-apa karena dokumen sumber pengakuan pengalihan KDP ke pos Aset Tetap Definitifnya didasarkan pada PHO. Dalam hal pengukuran nilai perolehan KDP sebelum pengalihannya ke Aset Tetap Definitifnya, dengan pilihan pembayaran cara 1 nilai perolehan KDP merupakan jumlah dari termin yang telah dibayarkan (95%) dan kewajiban yang belum dibayarkan kepada Kontraktor (5%). Sedangkan dengan pilihan pembayaran cara 2 nilai perolehan KDP sebelum pengalihannya ke Aset Tetap Definitifnya  adalah sebesar termin yang telah dibayarkan sesuai tingkat penyelesaian pekerjaan (100%). Pengukuran nilai KDP dalam kedua cara pilihan pembayaran tersebut telah sesuai dengan Paragraf 21 PSAP Nomor 8 maupun Bultek Nomor 9. Nilai perolehan KDP dengan menggunakan dua pilihan cara pembayaran di atas adalah sama yaitu sebesar nilai kontrak yang telah selesai dilaksanakan oleh kontraktor. Ketika KDP dialihkan ke Aset Tetap Definitifnya, maka nilai Aset Tetap Definitifnya adalah sebesar nilai kontrak pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan oleh kontraktor.

Sedangkan jika dikaitkan dengan pengakuan penyelesaian KDP sesuai Bultek Nomor 9 halaman 36-38, maka pilihan pembayaran cara 1  maupun cara 2 membawa implikasi pada belum dapat dialihkannya KDP ke Aset Tetap Definitifnya. Sekalipun pada pilihan pembayaran cara 2 pemerintah daerah telah melakukan pembayaran 100%, namun aset tersebut belum juga dapat dialihkan ke pos aset tetap definitifnya karena dokumen sumber pengakuannya didasarkan pada FHO. Artinya, sampai akhir tahun anggaran, atas aset konstruksi tersebut masih dicatat sebagai KDP. Selanjutnya, terkait nilai perolehan KDP yang akan disajikan dalam neraca, pilihan pembayaran cara 1 tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Paragraf 21 PSAP Nomor 8 maupun Bultek Nomor 9. Selain itu, dalam banyak kasus–hal yang sering dikeluhkan oleh pemerintah daerah—pilihan pembayaran cara 1 mengakibatkan kontraktor ‘malas’  mengambil retensi 5%. Akibatnya aset tersebut akan selalu tercatat sebagai KDP dalam neraca pemerintah daerah setiap tahunnya. Padahal secara fisik aset tersebut sudah selesai dan malah sudah digunakan/dimanfaatkan oleh SKPD/Satker. Di sisi lainnya, pengadministrasian retensi memerlukan biaya pengelolaan yang cukup besar dan merepotkan pemerintah daerah. Setidaknya, SKPD dan BUD harus selalu melakukan rekonsiliasi data terkait retensi dan KDP, tidak boleh lupa untuk menganggarkan dalam APBD tahun berikutnya karena termasuk belanja wajib, serta memantau penyelesaian pembayaran retensi dan pencatatan pengalihan KDP ke Aset Tetap Definitifnya.

Jadi?

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka sebaiknya pemerintah daerah membuat kebijakan mengenai pembayaran terkait kontrak konstruksi dan kebijakan akuntansi terkait pengalihan KDP ke pos Aset Tetap Definitifnya yang tidak merepotkan dan menghabiskan ‘energi’ yaitu: 1) membuat kebijakan pembayaran terkait kontrak konstruksi berupa pembayaran 100% kepada kontraktor berdasarkan dokumen PHO yang disertai kewajiban kontraktor menyerahkan Jaminan Pemeliharaan, 2) membuat kebijakan akuntansi yang menyatakan bahwa berdasarkan PHO, suatu KDP dapat dialihkan pencatatannya ke pos Aset Tetap Definitifnya.


Bagai Mana Pendapat Anda BMN Setter?
READMORE